BAB I
PENDAHULUAN
Negara Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki
keanekaragaman satwa yang tersebar diseluruh penjuru pulau dengan keunikan dari
masing – masing satwa itu sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, populasi
satwa yang unik tersebut semakin langka dan berkurang keberadaanya dikarenakan
terdegradasinya habitat dari satwa tersebut, yang apabila tidak diantisipasi
dengan cepat, maka populasi satwa tersebut akan hilang dari alam.
Indonesia memiliki banyak jenis satwa liar endemik,
namun sayangnya hampir semua populasi satwa liar endemik tersebut berada di
ambang kritis, bahkan hampir mendekati kepunahan. Bubut Jawa (Centropus nigrorufus) merupakan
satwa liar endemik yang dilindungi. Perlindungan ini mulai diberikan karena
populasi bubut jawa di beberapa kawasan Indonesia semakin mendekati kepunahan
akibat tingginya tingkat perburuan oleh manusia.
Spesies bubut jawa ini masuk ke dalam spesies
endemik yang terancam kepunahan karena jumlahnya di alam terus menurun. Hal ini
baisanya karena habitatnya telah berubah sedemikian rupa sehingga tidak lagi
dapat memenuhi kebutuhan satwa tersebut. Sebagian besar perubahan dan kerusakan
habitat ini disebabkan oleh aktivitas manusia. Kepunahan memang dapat terjadi
secara perlahan terhadap suatu spesies secara alami dan dalam waktu yang lama.
Namun perlu diingat bahwa manusia dapat mempercepat kepunahan secara alami.
Bubut Jawa tidak diburu secara khusus di Suaka
Margasatwa Muara Angke, hanya saja dibeberapa tempat sepertinya Bubut Jawa
merupakan salah satu jenis burung yang dimanfaatkan dengan di jual saat
terjerat di jaring penangkap burung, seperti yang teridentifikasi di pasar
burung Yogyakarta dimana terlihat satu individu Bubut Jawa yang dijual di
lokasi tersebut pada kunjungan singkat pada Juli 1994 (Sutrisno 2009). Ancaman
cukup nyata terhadap keberadaan Bubut Jawa di Suaka Margasatwa Muara angke
adalah permasalahan sampah dan pencemaran dari aliran kali Angke dan
menyusutnya habitat akibat degradasi lahan.
Populasi
bubut Jawa dewasa secara keseluruhan diperkirakan berkisar antara 2.500 hingga
10.000 ekor. Berdasarkan jumlah populasi dan penyebarannya, bubut Jawa
dimasukkan dalam status konservasi vulnerable (rentan) oleh International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Red List. Kategori
status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh
IUCN dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai makhluk
hidup yang terancam kepunahan (IUCN 2011).
Dengan demikian, keberadaan bubut Jawa tersebut
semakin hari semakin berkurang populasinya. Oleh karena itu, guna menjaga
eksistensi sekaligus memulihkan populasi bubut Jawa di Indonesia, perlu
dilakukan kegiatan konservasi. Strategi konservasi bubut Jawa dapat dilakukan
secara in-situ (di dalam
habitat alaminya); seperti melalui perlindungan jenis, pembinaan habitat dan
populasi; dan secara ex-situ (di
luar habitat alaminya), salah satu diantaranya melalui penangkaran
(Takandjandji dan Setio 2006).
Tulisan ini ditujukan untuk mendeskripsikan burung
bubut jawa yang merupakan burung endemik jawa yang terancam punah serta
mengidentifikasi langkah-langkah konservasi yang dapat dilakukan untuk
menyelamatkan burung ini dari kepunahan. Melalui tulisan ini diharapkan
memberikan masukan terhadap pelaku konservasi sebagai bahan pertimbangan dalam
upaya konservasi satwa endemik di indonesia khususnya bubut jawa.
BAB II
ISI
2.1. Ekologi Bubut Jawa
a.
Klasifikasi
Bubut jawa merupakan burung yang berasal dari suku
cuculidae, satu genus dengan bubut alang alang (Centropus bengalensis) dan sefamili dengan burung wiwik (Cacomantis .sp) dan kadalan. Klasifikasi
ilmiah dari bubut jawa adalah:
Kingdom :
Animalia
Filum :
Chordata
Kelas :
Aves
Ordo :
Cuculiformes
Famili :
Cuculidae
Genus :
Centropus
Spesies :
Centropus nigrorufus
Nama Lokal :
Bubut Jawa
b.
Morfologi
Bubut Jawa dideskripsikan sebagai burung yang
tubuhnya berukuran besar (46 cm), dengan warna dominan hitam dan coklat
kemerahan. Seperti anggota suku cuculidae lainnya, burung ini memiliki dapat
dicirikan dengan ekor yang panjang. Bulu pada tubuhnya berwarna hitam mengilap
ungu, kecuali pada sayap yang terdapat warna merah karat.
Yang
membedakannya dengan jenis bubut lain adalah, punggung, penutup sayap, dan bulu
sekunder dalam berwarna hitam. Iris mata berwarna merah, sedangkan paruh dan
kakinya berwarna hitam sehingga banyak masyarakat yang menyebut burung ini
sebagai burung gagak. Suara Bubut Jawa Seri panjang terdiri dari nada
"bup" mirip Bubut besar dan suara mirip ayam berkotek. Perilakunya
sama dengan bubut lain. Mencari makan ditanah. Umumnya bersembunyi di semak
belukar. Terbang jarak pendek dengan mengepak-ngepak pendek di atas vegetasi.
Sering berjemur di tempat terbuka pada pagi hari atau setelah hujan (Winnasis et al 2009).
Gambar
1. Bubut jawa (Centropus nigrorufus)
c.
Habitat
Habitat bubut jawa ini umumnya terdapat di daerah payau dekat pantai,
semak-semak paku laut, padang ilalang sekitar mangrove, semak dan padang rumput
dekat aliran sungai. Hal yang hampir serupa juga dinyatakan oleh Sutrisno
(2009) bahwa biasanya bubut jawa terdapat di payau dekat pantai, semak-semak
acrosticum yang rapat, dan alang-alang dekat hutan mangrove. Itulah alasan
mengapa penyebaran bubut jawa ini umumnya berada di daerah rawa dan hutan
sekitar pantai di pulau Jawa.
Ada dua alasan yang mungkin mendukung keberadaan
bubut jawa ini berada di hutan sekitar pantai dan rawa. Yang pertama karena
hutan mangrove dan rawa sekitar pantai merupakan habitat paling sesuai dengan
karakter dan fisiologis burung ini serta di kawasan ini merupakan karakter
habitat spesifik bagi burung inikarena menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan
burung ini untuk melangsungkan kehidupan. Alasan ke-dua adalah burung ini kalah
bersaing dengan spesies burung bubut lain karena memiliki karakteristik habitat
yang sama di pulau Jawa sehingga burung ini menncari tempat lain dan kian
terdesak hingga ke hutan rawa dan mangrove di tepi pantai.
d.
Perkembangbiakan
Sarang berbentuk bola
rumput tersembunyi dekat permukaan tanah, diantara batang rumput tinggi. Masa perkembangbiakan Bubut Jawa masih belum
dapat teridentifikasi dengan jelas. kecenderungannya adalah memiliki range yang
luas, meskipun data mengenai hal atersebut sangat sedikit. Dalam sebuah studi,
periode bersarang burung ini adalah sekitar bulan Januari-Maret (Sutrisno 2009).
Tiga sarang yang terdiri dari 1-3 butir telur ditemukan pada bulan Maret &
Juni di Cabang Bungin dan Telar Cilesung di Jawa. Tercatat bahwa sarang bubut jawa
mirip dengan sarang Bubut besar (Arifin 1997). Satu-satunya sarang yang
dijumpai diketahui berada di semak Acrostichium yang terbuka dekat
sungai di delta Sedari, dengan bentuk tidak beraturan, dengan bahan sarang
berupa daun segar dan kering dari Acrostichium. Arifin (1997) melaporkan
sejumlah sarang yang berada di 3-6 m diatas vegetasi mangrove dan berisi 3-5
butir telur.
e.
Makanan
Bubut Jawa tidak memiliki makanan yang spesifik,
jenis makanan yang tercatat diantaranya adalah belalang, ngengat, ulat,
serangga, keong, siput, kepiting, telur burung dan serangga, katak dan ular
pohon. Dalam satu penelitian, jenis makanan Bubut Jawa termasuk katak, kadal,
ular air, tikus, capung, kumbang, jangkrik dan beberapa jenis lainnya yang
tidak teridentifikasi (Arifin, 1997). Kesulitan membedakan Bubut Jawa dengan
Bubut Besar di alam menjadi salah satu penyebab belum diketahuinya jumlah
populasi Bubut jawa secara pasti.
f.
Distribusi
Seperti kebanyakan jenis bubut lainnya, bubut jawa
juga menyukai habitat belukar, payau, daerah berumput terbuka, padang alang-alang.
Spesies ini tersebar sampai ketinggian 1.000 m dpl, jarang sampai 1.500 m dpl. Secara
global, penyebaran bubut jawa merupakan satwa endemik di Jawa dengan penyebaran
lokal terbatas di hutan mangrove dan vegetasi rawa di pesisir Jawa. Dulu banyak
ditemukan di rawa-rawa air tawar, tetapi sekarang sangat terbatas, dan hanya
tercatat di Ujung Kulon, Karawang, Indramayu, Segara Anakan, dan Muara Brantas.
Satu catatan dari Sumatera (tahun 1902) dianggap sebagai kesalahan. Mungkin
terancam disaingi Bubut alang-alang karena habitatnya diganti tambak ikan dan udang
(McKinnon 2010). Terdapat di payau dekat pantai, semak-semak Acrosticum yang rapat, dan alang-alang
dekat hutan mangrove. Perilakunya sama dengan bubut lain (McKinnon 2010).
Burung ini menjadi maskot (Species flagship) di Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Pada
beberapa bagian, terutama bagian utara dan selatan SMMA, banyak ditumbuhi
semak-semak terutama gelagah (Saccharum spontaneum). Semak-semak ini
pun memiliki nilai penting, terutama bagi burung bubut jawa. Berdasarkan data
BirdLife International 2011, populasi bubut Jawa diperkirakan berkisar antara
2.500-10.000 ekor (individu dewasa) dan hal ini merupakan range yang sangat
luas (Munandi, 2013).
Catatan
Bubut Jawa yang ditemukan di Taman Nasional Baluran merupakan catatan baru di
Pulau Jawa. Sampai tahun 1992 catatan pertemuan Bubut Jawa paling timur hanya
sampai di Sidoarjo dan Muara Sungai Brantas-Ujung Pangkah. Degradasi habitat
daerah pesisir dan perburuan merupakan faktor utama penyebab turunnya populasi
Bubut Jawa. Bubut Jawa ditemukan di dua tempat di Taman Nasional Baluran, yaitu
Blok Demang (mangrove) dan Blok Gatel (asosiasi mangrove, hutan pantai, rawa,
tambak dan persawahan). Di Blok Gatel, Bubut Jawa lebih mudah diamati terutama
di sekitar areal pertambakan karena kondisi habitat yang agak terbuka dengan
didominasi oleh Beluntas (Pluchea indica). Meskipun luas hutan mangrove
di Taman Nasional Baluran cukup luas, mencapai 272,5 ha dan tersebar hampir
merata di sepanjang garis pantai, namun catatan pertemuan Bubut Jawa sangat
terbatas. Di setiap catatan pangamatan di Blok Gatel, burung ini tidak pernah
lebih dari 2 ekor. Lebih pendiam dan sangat pemalu. Warna hitamnya sangat legam
hampir di seluruh tubuh kecuali ujung sayap yang berwarna coklat (Winnasis et al 2009).
Desmawati (2010) dalam
penelitiannya di Wonorejo menemukan, bubut jawa menyukai daerah
bervegetasi. Burung ini terbang dalam
jarak yang pendek untuk berpindah tempat
bertengger sehingga memanfaatkan Avicennia
marina yang melimpah dengan tinggi
yang beragam dan rapat. Adanya semak dibagian tepi sungai (perbatasan dengan
sungai) memudahkan Bubut Jawa untuk berpindah saat mencari makan dan kembali ke
bagian cabang Avicennia.
g. Status
Konservasi
Dalam hukum dan perundang-undangan konservasi
Indonesia, Bubut Jawa belum dimasukkan kedalam jenis yang dilindungi. Burung
Bubut Jawa termasuk kelompok jenis vulnerable dalam red list IUCN dengan
kecenderungan populasinya terus menurun dari tahun ketahun. Ancaman yang terbesar
adalah karena jenis ini memiliki populasi yang kecil dan kerusakan habitat yang
disebabkan oleh fragmentasi habitat dan perubahan fungsi lahan menjadi pemukiman
dan daerah industri.
Secara keseluruhan, bubut jawa mengalami penurunan populasi
akibat penangkapan untuk perdagangan. Suaka Margasatwa Muara Angke yang menjadi
habitat burung ini juga terancam polusi air, rendahnya regenerasi hutan bakau,
serta tekanan pembangunan di sekitar kawasan (Munandi, 2013). Bubut jawa pun
adalah burung yang juga terusik habitanya. Burung yang masuk dalam suku
Cuculidae yang menjadi penghuni ekosistem bakau ini terancam punah dengan
kategori rentan. Jenis ini makin sulit ditemui, meski masih bisa dijumpai di
kawasan Suakan Margasatwa Muara Angke. Berdasarkan data BirdLife International
(2011), populasinya berkisar 2.500 hingga 10.000 ekor (individu dewasa).
Penurunan populasi bubut jawa
dikarenakan kehilangan habitat serta penangkapan untuk perdagangan. Suaka
Margasatwa Muara Angke pun terancam akibat polusi perairan, rendahnya generasi
hutan bakau, serta tekanan pembangunan di sekitar kawasan. Padahal, suaka
margasatwa tersebut sudah ditetapkan menjadi ‘Derah Penting bagi Burung di
Pulau Jawa’ oleh Birdlife Internasional.
2.2.
Konservasi Bubut Jawa
Hingga saat ini, perhatian terhadap upaya konservasi
bubut jawa belum banyak dilakukan. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah
penelitian, tulisan dan laporan kegiatan
yang berkaitan dengan konservasi bubut jawa. Kegiatan konservasi bubut jaawa
dapat dilaksanakan dengan berbagai upaya baik secara insitu maupun secara
eksitu.
a. Menetapkan kebijakan konservasi
Usaha untuk melindungi spesies-spesies yang terancam
punah salah satunya dapat dilakukan dengan menetapkan status konservasi spesies
tersebut sebagai spesies yang dilindungi oleh undang-undang negara Republik
Indonesia. Dalam hal pelestarian burung pemerintah Indonesia telah menetapkan
126 jenis burung yang dilindungi undang-undang (Ministry of Forestry 1990).
Meskipun bubut jawa merupakan spesies yang terancam
punah karena jumlah spesies dan populasinya tidak diketahui secara pasti dan
perjumpaan terhadap spesies ini semakin sulit, namun pemerintah Indonesia belum
menetapkan spesies ini kedalam salah satu spesies yang dilindungi oleh
peraturan perundang-undangan. Padahal
seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, menurut IUCN bubut
jawa termasuk spesies yang masuk kedalam kategori rentan terhadap kepunahan. Seharusnya
pemerintah lebih aktif dalam memantau dan memperhatikan jenis satwa yang
keberadaannya semakin terancam punah termasuk bubut jawa dan segera mangambil
kebijakan perlindungan terhadap spesies tersebut.
b. Konservasi habitat
Kondisi habitat merupakan komponen penting dalam
mendukung kehidupan bubut jawa. Habitat dengan kualitas yang baik akan memenuhi
segala kebutuhan dan mendukung segala aktivitas burung tersebut. Menurut Alikodra
(2010) kualitas habitat yang baik akan menghasilkan kualitas satwaliar yang
tinggi, sebaliknya jika jika kualitas habitat rendah akan menghasilkan populasi
yang rentan terhadap berbagai ancaman. Maka oleh sebab itu, pengelolaan habitat
bubut jawa ini mutlak dilakukan untuk menjamin kelestarian burung endemik Jawa
yang terancam punah ini. Dalam pengelolaan habitat bubut jawa, komponen yang
menjadi pokok pembahasan adalah pengelolaan sumber pakan dan air serta
pengelolaan tempat bersarang dan berlindung dan kegiatan pengelolaannya harus
memperhatikan aspek ekologis lingkungan.
Seperti yang telah diterangkan pada pembahasan
sebelumnya, bubut jawa tidak memiliki makanan spesifik. Bubut jawa dapat
memakan jenis hewan avertebrata seperti serangga, artropoda dan mollusca.
Selain itu burung ini juga dapat memakan reptil, amfibi dan mamalia kecil.
Semua jenis makanan itu dapat trsedia di habitat yang kualitasnya baik yaitu
habitat yang jugas mendukung kehidupan semua jenis pakan itu. Selain sumber
pakan, sumber air juga merupakan faktor penting dalam habitat bubut jawa. Air
yang tercemar akan menurunkan kualitas habitat.
Satu contoh yang terjadi di Suaka Margasatwa Muara
Angke (SMMA) sebagai salah satu habitat dengan populasi bubut jawa yang dapat
dikatakan terbanyak. Di SMMA mengalir sebuah sungai dan terdapat danau serta
rawa yang terbentuk berdasarkan pasang surut air laut. Buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai baik
di Jakarta maupun kawasan yang berdekatan seperti kawasan Bogor, Puncak,
Cianjur juga memperparah kerusakan yang ada di kawasan hutan Muara Angke. Pada
saat ini sungai-sungai yang mengalir ke
Teluk Jakarta telah tercemar berat baik oleh sampah maupun logam berat, tidak
terkecuali dengan sungai Angke yang mengalir tepat di samping kawasan hutan.
Kondisi ini mengakibatkan substrat lumpur di dalam kawasan hutan telah dipenuhi
oleh limbah padat. Kehadiran limbah padat ini memberi dampak pada menurunnya
kemampuan regenerasi mangrove di dalam kawasan. Polusi dan pencemaran dari
sungai-sungai sepanjang Jakarta memiliki dampak yang sangat nyata bagi lahan
basah di pesisir Jakarta telah sangat tercemar dengan logam berat (khususnya
merkuri) dan pestisida (sekitar 9 ppb PCB and 13 ppb DDT), kedua zat pencemar
tersebut berada diatas ambang batas yaitu sebesar 0.5 ppb (Sutrisno 2009).
Bubut jawa menempati habitat di hutan pesisir
pantai, dan dapat membuat sarang di ranting bakau atau di semak belukar sekitar
hutan bakau. Pencemaran air dan sampah juga telah manggangu tempat bersarang
dan berlindung bagi bubut jawa. Kehadiran limbah padat ini memberi dampak pada
menurunnya kemampuan regenerasi mangrove di dalam kawasan. Semai bakau yang
seharusnya tumbuh dengan baik, pertumbuhannya terganggu karena akar tidak bisa
menembus lapisan sampah plastik. Pada akhirnya menyebabkan penurunan luasan
habitat dan terjadi fragmentasi dan degradasi habitat. Tingginya laju
sedimentasi juga telah mengakibatkan di beberapa bagian kawasan Suaka
Margasatwa berubah menjadi daerah kering terutama sekali pada bagian yang
berdekatan dengan tepi sungai (Sutrisno 2009).
Fakta di atas menunjukkan keberadaan habitat semakin
terancam. Diperlukan adanya suatu pengelolaan terpadu dari pihak pemerintah
maupun seluruh masyarakat untuk dapat mengelola sumber pakan dan air bagi
spesies ini karena masalah di atas merupakan masalah yang serius dan harus
segera diatasi. Hingga saat ini tekanan yang diterima habitat bubut jawa
semakin tinggi, maka tidak heran jika populasinya di alam terus menurun.
Tekanan habitat bubut jawa ini sebagian besar adalah berasal dari aktivitas
manusia, oleh karena itu langkah awal untuk melestarikan habitat burung ini
adalah diperlukan kesadaran masyarakat askan pentingnya peran habitat bagi
kelangsungan hidup burung endemik jawa ini.
c. Menjadikan sebagai spesies
maskot (flagship species)
Salah satu upaya yang dilakukan salah satu lembaga
swadaya masyarakat sebagai upaya konservasi bubut jawa di Suaka Margasatwa
Muara Angke adalah menjadikan bubut jawa sebagai spesies maskot atau flagship species. Penggunaan bubut jawa
sebagai ‘flagship species’ untuk
suatu strategi konservasi yang efektif di suatu kawasan. Hal ini berlaku karena
bubut jawa terkenal sangat karismatik dan dapat mewakili contoh sehatnya suatu
habitat dan ekosistem hutan serta mengindikasikan adanya nilai penting keanekaragaman
hayati di dalamnya. Dengan menjadikannya sebagai maskot di suatu kawasan
termasuk di kawasan konservasi dan sosialisasi yang baik diharapkan keberadaan
spesies dapat dijaga bersama oleh seluruh elemen termasuk seluruh masyarakat sekitar
habitat bubut jawa ini.
d. Penangkaran
Salah satu program
konservasi ex-situ untuk menyelamatkan spesies endemik dari ancaman kepunahan
seperti bubut jawa adalah dengan membuat penangkaran. Dasar hukum kegiatan
penangkaran sebagai upaya konservasi ex-situ, antara lain, adalah Undang Undang (UU) No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Takandjandji dan
Setio 2006).
Kegiatan penangkaran terhadap
bubut jawa ditujukan untuk kegiatan konservasi jenis yang dilakukan di luar
habitat alaminya apabila kegiatan konservasi di habitat alami burung ini tidak
dapat dilakukan. Hasil penangkaran ini dapat dikembalikan lagi ke alam melalui
kegiatan pelepasliaran dengan syarat-syarat dan peraturan yang telah ditentukan
oleh pihak yang berwenang dalam hal ini adalah kementrian kehutanan. Hasil
penangkaran ini juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial, terutama mulai
dari hasil keturunan kedua (F2). Dengan demikian angka penjualan burung ini
secara ilegal dapat diminimalisir.
Kegiatan penangkaran
dapat dilakukan oleh lembaga konservasi, baik pemerintah maupun swasta. Hingga
saat ini kegiatan penangkaran merupakan langkah terakhir yang diambil dalam
upaya konservasi karena kegiatan ini memiliki kekurangan diantaranya adalah memerlukan dana yang besar, membutuhkan tenaga
ahli profesional yang cukup banyak, lahan yang sesuai dengan kondisi habitat
alami satwa, manajemen terpadu dan studi yang mendalam terhadap satwa yang
ditangkarkan.
Bubut jawa ini adalah
satwa yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sebab hewan ini adalah
satwa edemik, oleh karena itu penangkaran bubut jawa ini harus memperhatikan kesiapan
lingkungan penangkaran, baik lingkungan biologi atau habitat hidup burung
maupun lingkungan fisik (seperti kandang/sangkar). Lingkungan dan sistem
pemeliharaan harus mengacu kepada perilaku dan habitat alaminya sehingga burung
di penangkaran dapat mengekspresikan segala sifat alaminya. Kegiatan teknis
yang dapat dilakukan adalah penyiapan tumbuhan pelindung dan sumber pakan,
pemilihan bentuk dan ukuran kandang, pengelolaan penangkaran (pakan, kesehatan,
sex
rasio, dan reproduksi), dan sistem
pencatatan (Takandjandji dan Setio 2006). Dengan pengelolaan penangkaran yang baik diharapkan mampu mempertahankan
sumberdaya hayati endemik jawa ini dengan meningkatkan populasi serta memberikan
nilai tambah untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
BAB
III
KESIMPULAN
Saat ini keberadaan
bubut jawa tersebut semakin hari semakin berkurang populasinya. Oleh karena
itu, guna menjaga eksistensi sekaligus memulihkan populasi bubut Jawa di
Indonesia, perlu dilakukan kegiatan konservasi. Bubut jawa merupakan satwa
endemik jawa yang dideskripsikan sebagai burung yang tubuhnya berukuran besar
(46 cm), dengan warna dominan hitam dan coklat kemerahan dan penyebarannya
terbatas di hutan mangrove dan vegetasi rawa di pesisir Jawa. Kegiatan
konservasi spesies ini dapat dimulai dengan menjadikan spesies ini sebagai
spesies yang dilindungi undang-undang dan sebagai spesies yang kharismatik
burung ini dapat dijadikan maskot suatu kawasan konservasi. Selain itu,
pengelolaan habitat sebagai usaha konservasi in-situ merupakan satu strategi
yang baik dalam melestarikan spesies ini. Program penangkaran merupakan langkah
akhir dapat dilakukan saat pelestarian burung ini tidak lagi dapat dilakukan di
habitat aslinya.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra
HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar.
IPB Press. Bogor.
Arifin
M. 2007. Monitoring Burung Pantai di Pantai Trisik Kulon Progo Yogyakarta. Kumpulan Makalah Diskusi Hasil Penelitian
Bionic. FMIPA UNY. Yogyakarta
BirdLife International. 2007. Species factsheet: Centropus nigrorufus. [internet]. [Diunduh tanggal 17
Oktober 2013]. Tersedia pada:http://www.birdlife.org
Desmawati
I. 2010. Studi distribusi burung-burung dilindungi perundang-undangan Indonesia
di Kawasan Wonorejo, Surabaya. [skripsi]. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Surabaya.
IUCN. 2011. IUCN Red List of Threatened Species.
[internet]. [Diunduh tanggal 22 Oktober 2013]. tersedia pada: www.iucnredlist.org
McKinnon
J, Philips K, van Balen B. 2010. Burung-burung
di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife-Indonesia Programme LIPI.
Bogor.
Munandi A. 2013. Muara Angke, habitat burung di antara
hutan beton. [internet]. [Diunduh tanggal 17 Oktober 2013]. Tersedia
pada: www.omkicau.com
Ministry of
Forestry. 1990. Indonesia National
Forestry Action Plan. Ministry of Forestry-FAO of the United Nations.
Jakarta.
Pramesti, OL. 2011. Elang Bondol dan Bubut Jawa Tersingkir dari Jakarta.
[internet]. [diunduh tanggal 17 Oktober 2013]. tersedia pada: www.nationalgeographic.co.id.
Setio P, Takandjandji M. 2006. Konservasi Ex Situ Burung Endemik
Langka Melalui Penangkaran. Makalah Utama
pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan.
Sutrisno E. 2009. Suaka
Margasatwa Muara Angke. Laporan Akhir Kampanye Bangga
Melestarikan Alam. Jakarta.