Selasa, 31 Mei 2016

EKOLOGI DAN KONSERVASI BUBUT JAWA (Centropus nigrorufus)

BAB I
PENDAHULUAN

Negara Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki keanekaragaman satwa yang tersebar diseluruh penjuru pulau dengan keunikan dari masing – masing satwa itu sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, populasi satwa yang unik tersebut semakin langka dan berkurang keberadaanya dikarenakan terdegradasinya habitat dari satwa tersebut, yang apabila tidak diantisipasi dengan cepat, maka populasi satwa tersebut akan hilang dari alam.
Indonesia memiliki banyak jenis satwa liar endemik, namun sayangnya hampir semua populasi satwa liar endemik tersebut berada di ambang kritis, bahkan hampir mendekati kepunahan. Bubut Jawa (Centropus nigrorufus) merupakan satwa liar endemik yang dilindungi. Perlindungan ini mulai diberikan karena populasi bubut jawa di beberapa kawasan Indonesia semakin mendekati kepunahan akibat tingginya tingkat perburuan oleh manusia.
Spesies bubut jawa ini masuk ke dalam spesies endemik yang terancam kepunahan karena jumlahnya di alam terus menurun. Hal ini baisanya karena habitatnya telah berubah sedemikian rupa sehingga tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan satwa tersebut. Sebagian besar perubahan dan kerusakan habitat ini disebabkan oleh aktivitas manusia. Kepunahan memang dapat terjadi secara perlahan terhadap suatu spesies secara alami dan dalam waktu yang lama. Namun perlu diingat bahwa manusia dapat mempercepat kepunahan secara alami.
Bubut Jawa tidak diburu secara khusus di Suaka Margasatwa Muara Angke, hanya saja dibeberapa tempat sepertinya Bubut Jawa merupakan salah satu jenis burung yang dimanfaatkan dengan di jual saat terjerat di jaring penangkap burung, seperti yang teridentifikasi di pasar burung Yogyakarta dimana terlihat satu individu Bubut Jawa yang dijual di lokasi tersebut pada kunjungan singkat pada Juli 1994 (Sutrisno 2009). Ancaman cukup nyata terhadap keberadaan Bubut Jawa di Suaka Margasatwa Muara angke adalah permasalahan sampah dan pencemaran dari aliran kali Angke dan menyusutnya habitat akibat degradasi lahan.


Populasi bubut Jawa dewasa secara keseluruhan diperkirakan berkisar antara 2.500 hingga 10.000 ekor. Berdasarkan jumlah populasi dan penyebarannya, bubut Jawa dimasukkan dalam status konservasi vulnerable (rentan) oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Red List. Kategori status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan (IUCN 2011).
Dengan demikian, keberadaan bubut Jawa tersebut semakin hari semakin berkurang populasinya. Oleh karena itu, guna menjaga eksistensi sekaligus memulihkan populasi bubut Jawa di Indonesia, perlu dilakukan kegiatan konservasi. Strategi konservasi bubut Jawa dapat dilakukan secara in-situ (di dalam habitat alaminya); seperti melalui perlindungan jenis, pembinaan habitat dan populasi; dan secara ex-situ (di luar habitat alaminya), salah satu diantaranya melalui penangkaran (Takandjandji dan Setio 2006).
Tulisan ini ditujukan untuk mendeskripsikan burung bubut jawa yang merupakan burung endemik jawa yang terancam punah serta mengidentifikasi langkah-langkah konservasi yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan burung ini dari kepunahan. Melalui tulisan ini diharapkan memberikan masukan terhadap pelaku konservasi sebagai bahan pertimbangan dalam upaya konservasi satwa endemik di indonesia khususnya bubut jawa.             











BAB II
ISI

2.1. Ekologi Bubut Jawa
a. Klasifikasi
Bubut jawa merupakan burung yang berasal dari suku cuculidae, satu genus dengan bubut alang alang (Centropus bengalensis) dan sefamili dengan burung wiwik (Cacomantis .sp) dan kadalan. Klasifikasi ilmiah dari bubut jawa adalah:
Kingdom         : Animalia
Filum               : Chordata
Kelas               : Aves
Ordo                : Cuculiformes
Famili              : Cuculidae
Genus              : Centropus
Spesies             : Centropus nigrorufus
Nama Lokal     : Bubut Jawa

b. Morfologi
Bubut Jawa dideskripsikan sebagai burung yang tubuhnya berukuran besar (46 cm), dengan warna dominan hitam dan coklat kemerahan. Seperti anggota suku cuculidae lainnya, burung ini memiliki dapat dicirikan dengan ekor yang panjang. Bulu pada tubuhnya berwarna hitam mengilap ungu, kecuali pada sayap yang terdapat warna merah karat.
Yang membedakannya dengan jenis bubut lain adalah, punggung, penutup sayap, dan bulu sekunder dalam berwarna hitam. Iris mata berwarna merah, sedangkan paruh dan kakinya berwarna hitam sehingga banyak masyarakat yang menyebut burung ini sebagai burung gagak. Suara Bubut Jawa Seri panjang terdiri dari nada "bup" mirip Bubut besar dan suara mirip ayam berkotek. Perilakunya sama dengan bubut lain. Mencari makan ditanah. Umumnya bersembunyi di semak belukar. Terbang jarak pendek dengan mengepak-ngepak pendek di atas vegetasi. Sering berjemur di tempat terbuka pada pagi hari atau setelah hujan (Winnasis et al 2009).
Gambar 1. Bubut jawa (Centropus nigrorufus)

c. Habitat
Habitat bubut jawa ini umumnya  terdapat di daerah payau dekat pantai, semak-semak paku laut, padang ilalang sekitar mangrove, semak dan padang rumput dekat aliran sungai. Hal yang hampir serupa juga dinyatakan oleh Sutrisno (2009) bahwa biasanya bubut jawa terdapat di payau dekat pantai, semak-semak acrosticum yang rapat, dan alang-alang dekat hutan mangrove. Itulah alasan mengapa penyebaran bubut jawa ini umumnya berada di daerah rawa dan hutan sekitar pantai di pulau Jawa.
Ada dua alasan yang mungkin mendukung keberadaan bubut jawa ini berada di hutan sekitar pantai dan rawa. Yang pertama karena hutan mangrove dan rawa sekitar pantai merupakan habitat paling sesuai dengan karakter dan fisiologis burung ini serta di kawasan ini merupakan karakter habitat spesifik bagi burung inikarena menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan burung ini untuk melangsungkan kehidupan. Alasan ke-dua adalah burung ini kalah bersaing dengan spesies burung bubut lain karena memiliki karakteristik habitat yang sama di pulau Jawa sehingga burung ini menncari tempat lain dan kian terdesak hingga ke hutan rawa dan mangrove di tepi pantai.

d. Perkembangbiakan
Sarang berbentuk bola rumput tersembunyi dekat permukaan tanah, diantara batang rumput tinggi.  Masa perkembangbiakan Bubut Jawa masih belum dapat teridentifikasi dengan jelas. kecenderungannya adalah memiliki range yang luas, meskipun data mengenai hal atersebut sangat sedikit. Dalam sebuah studi, periode bersarang burung ini adalah sekitar bulan Januari-Maret (Sutrisno 2009). Tiga sarang yang terdiri dari 1-3 butir telur ditemukan pada bulan Maret & Juni di Cabang Bungin dan Telar Cilesung di Jawa. Tercatat bahwa sarang bubut jawa mirip dengan sarang Bubut besar (Arifin 1997). Satu-satunya sarang yang dijumpai diketahui berada di semak Acrostichium yang terbuka dekat sungai di delta Sedari, dengan bentuk tidak beraturan, dengan bahan sarang berupa daun segar dan kering dari Acrostichium. Arifin (1997) melaporkan sejumlah sarang yang berada di 3-6 m diatas vegetasi mangrove dan berisi 3-5 butir telur.

e. Makanan
Bubut Jawa tidak memiliki makanan yang spesifik, jenis makanan yang tercatat diantaranya adalah belalang, ngengat, ulat, serangga, keong, siput, kepiting, telur burung dan serangga, katak dan ular pohon. Dalam satu penelitian, jenis makanan Bubut Jawa termasuk katak, kadal, ular air, tikus, capung, kumbang, jangkrik dan beberapa jenis lainnya yang tidak teridentifikasi (Arifin, 1997). Kesulitan membedakan Bubut Jawa dengan Bubut Besar di alam menjadi salah satu penyebab belum diketahuinya jumlah populasi Bubut jawa secara pasti.

f. Distribusi
Seperti kebanyakan jenis bubut lainnya, bubut jawa juga menyukai habitat belukar, payau, daerah berumput terbuka, padang alang-alang. Spesies ini tersebar sampai ketinggian 1.000 m dpl, jarang sampai 1.500 m dpl. Secara global, penyebaran bubut jawa merupakan satwa endemik di Jawa dengan penyebaran lokal terbatas di hutan mangrove dan vegetasi rawa di pesisir Jawa. Dulu banyak ditemukan di rawa-rawa air tawar, tetapi sekarang sangat terbatas, dan hanya tercatat di Ujung Kulon, Karawang, Indramayu, Segara Anakan, dan Muara Brantas. Satu catatan dari Sumatera (tahun 1902) dianggap sebagai kesalahan. Mungkin terancam disaingi Bubut alang-alang karena habitatnya diganti tambak ikan dan udang (McKinnon 2010). Terdapat di payau dekat pantai, semak-semak Acrosticum yang rapat, dan alang-alang dekat hutan mangrove. Perilakunya sama dengan bubut lain (McKinnon 2010).
Burung ini menjadi maskot (Species flagship) di Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Pada beberapa bagian, terutama bagian utara dan selatan SMMA, banyak ditumbuhi semak-semak terutama gelagah (Saccharum spontaneum). Semak-semak ini pun memiliki nilai penting, terutama bagi burung bubut jawa. Berdasarkan data BirdLife International 2011, populasi bubut Jawa diperkirakan berkisar antara 2.500-10.000 ekor (individu dewasa) dan hal ini merupakan range yang sangat luas (Munandi, 2013).
Catatan Bubut Jawa yang ditemukan di Taman Nasional Baluran merupakan catatan baru di Pulau Jawa. Sampai tahun 1992 catatan pertemuan Bubut Jawa paling timur hanya sampai di Sidoarjo dan Muara Sungai Brantas-Ujung Pangkah. Degradasi habitat daerah pesisir dan perburuan merupakan faktor utama penyebab turunnya populasi Bubut Jawa. Bubut Jawa ditemukan di dua tempat di Taman Nasional Baluran, yaitu Blok Demang (mangrove) dan Blok Gatel (asosiasi mangrove, hutan pantai, rawa, tambak dan persawahan). Di Blok Gatel, Bubut Jawa lebih mudah diamati terutama di sekitar areal pertambakan karena kondisi habitat yang agak terbuka dengan didominasi oleh Beluntas (Pluchea indica). Meskipun luas hutan mangrove di Taman Nasional Baluran cukup luas, mencapai 272,5 ha dan tersebar hampir merata di sepanjang garis pantai, namun catatan pertemuan Bubut Jawa sangat terbatas. Di setiap catatan pangamatan di Blok Gatel, burung ini tidak pernah lebih dari 2 ekor. Lebih pendiam dan sangat pemalu. Warna hitamnya sangat legam hampir di seluruh tubuh kecuali ujung sayap yang berwarna coklat (Winnasis et al 2009).
Desmawati (2010) dalam penelitiannya di Wonorejo menemukan, bubut jawa menyukai daerah bervegetasi.  Burung ini terbang dalam jarak yang  pendek untuk berpindah tempat bertengger sehingga memanfaatkan Avicennia marina yang melimpah dengan  tinggi yang beragam dan rapat. Adanya semak dibagian tepi sungai (perbatasan dengan sungai) memudahkan Bubut Jawa untuk berpindah saat mencari makan dan kembali ke bagian cabang Avicennia.

g. Status Konservasi
Dalam hukum dan perundang-undangan konservasi Indonesia, Bubut Jawa belum dimasukkan kedalam jenis yang dilindungi. Burung Bubut Jawa termasuk kelompok jenis vulnerable dalam red list IUCN dengan kecenderungan populasinya terus menurun dari tahun ketahun. Ancaman yang terbesar adalah karena jenis ini memiliki populasi yang kecil dan kerusakan habitat yang disebabkan oleh fragmentasi habitat dan perubahan fungsi lahan menjadi pemukiman dan daerah industri.
Secara keseluruhan, bubut jawa mengalami penurunan populasi akibat penangkapan untuk perdagangan. Suaka Margasatwa Muara Angke yang menjadi habitat burung ini juga terancam polusi air, rendahnya regenerasi hutan bakau, serta tekanan pembangunan di sekitar kawasan (Munandi, 2013). Bubut jawa pun adalah burung yang juga terusik habitanya. Burung yang masuk dalam suku Cuculidae yang menjadi penghuni ekosistem bakau ini terancam punah dengan kategori rentan. Jenis ini makin sulit ditemui, meski masih bisa dijumpai di kawasan Suakan Margasatwa Muara Angke. Berdasarkan data BirdLife International (2011), populasinya berkisar 2.500 hingga 10.000 ekor (individu dewasa).
Penurunan populasi bubut jawa dikarenakan kehilangan habitat serta penangkapan untuk perdagangan. Suaka Margasatwa Muara Angke pun terancam akibat polusi perairan, rendahnya generasi hutan bakau, serta tekanan pembangunan di sekitar kawasan. Padahal, suaka margasatwa tersebut sudah ditetapkan menjadi ‘Derah Penting bagi Burung di Pulau Jawa’ oleh Birdlife Internasional.

2.2. Konservasi Bubut Jawa
Hingga saat ini, perhatian terhadap upaya konservasi bubut jawa belum banyak dilakukan. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah penelitian, tulisan  dan laporan kegiatan yang berkaitan dengan konservasi bubut jawa. Kegiatan konservasi bubut jaawa dapat dilaksanakan dengan berbagai upaya baik secara insitu maupun secara eksitu.
a. Menetapkan kebijakan konservasi
Usaha untuk melindungi spesies-spesies yang terancam punah salah satunya dapat dilakukan dengan menetapkan status konservasi spesies tersebut sebagai spesies yang dilindungi oleh undang-undang negara Republik Indonesia. Dalam hal pelestarian burung pemerintah Indonesia telah menetapkan 126 jenis burung yang dilindungi undang-undang (Ministry of Forestry 1990).
Meskipun bubut jawa merupakan spesies yang terancam punah karena jumlah spesies dan populasinya tidak diketahui secara pasti dan perjumpaan terhadap spesies ini semakin sulit, namun pemerintah Indonesia belum menetapkan spesies ini kedalam salah satu spesies yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.  Padahal seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, menurut IUCN bubut jawa termasuk spesies yang masuk kedalam kategori rentan terhadap kepunahan. Seharusnya pemerintah lebih aktif dalam memantau dan memperhatikan jenis satwa yang keberadaannya semakin terancam punah termasuk bubut jawa dan segera mangambil kebijakan perlindungan terhadap spesies tersebut.

b. Konservasi habitat
Kondisi habitat merupakan komponen penting dalam mendukung kehidupan bubut jawa. Habitat dengan kualitas yang baik akan memenuhi segala kebutuhan dan mendukung segala aktivitas burung tersebut. Menurut Alikodra (2010) kualitas habitat yang baik akan menghasilkan kualitas satwaliar yang tinggi, sebaliknya jika jika kualitas habitat rendah akan menghasilkan populasi yang rentan terhadap berbagai ancaman. Maka oleh sebab itu, pengelolaan habitat bubut jawa ini mutlak dilakukan untuk menjamin kelestarian burung endemik Jawa yang terancam punah ini. Dalam pengelolaan habitat bubut jawa, komponen yang menjadi pokok pembahasan adalah pengelolaan sumber pakan dan air serta pengelolaan tempat bersarang dan berlindung dan kegiatan pengelolaannya harus memperhatikan aspek ekologis lingkungan.
Seperti yang telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya, bubut jawa tidak memiliki makanan spesifik. Bubut jawa dapat memakan jenis hewan avertebrata seperti serangga, artropoda dan mollusca. Selain itu burung ini juga dapat memakan reptil, amfibi dan mamalia kecil. Semua jenis makanan itu dapat trsedia di habitat yang kualitasnya baik yaitu habitat yang jugas mendukung kehidupan semua jenis pakan itu. Selain sumber pakan, sumber air juga merupakan faktor penting dalam habitat bubut jawa. Air yang tercemar akan menurunkan kualitas habitat.
Satu contoh yang terjadi di Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) sebagai salah satu habitat dengan populasi bubut jawa yang dapat dikatakan terbanyak. Di SMMA mengalir sebuah sungai dan terdapat danau serta rawa yang terbentuk berdasarkan pasang surut air laut.  Buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai baik di Jakarta maupun kawasan yang berdekatan seperti kawasan Bogor, Puncak, Cianjur juga memperparah kerusakan yang ada di kawasan hutan Muara Angke. Pada saat ini sungai-sungai  yang mengalir ke Teluk Jakarta telah tercemar berat baik oleh sampah maupun logam berat, tidak terkecuali dengan sungai Angke yang mengalir tepat di samping kawasan hutan. Kondisi ini mengakibatkan substrat lumpur di dalam kawasan hutan telah dipenuhi oleh limbah padat. Kehadiran limbah padat ini memberi dampak pada menurunnya kemampuan regenerasi mangrove di dalam kawasan. Polusi dan pencemaran dari sungai-sungai sepanjang Jakarta memiliki dampak yang sangat nyata bagi lahan basah di pesisir Jakarta telah sangat tercemar dengan logam berat (khususnya merkuri) dan pestisida (sekitar 9 ppb PCB and 13 ppb DDT), kedua zat pencemar tersebut berada diatas ambang batas yaitu sebesar 0.5 ppb (Sutrisno 2009).
Bubut jawa menempati habitat di hutan pesisir pantai, dan dapat membuat sarang di ranting bakau atau di semak belukar sekitar hutan bakau. Pencemaran air dan sampah juga telah manggangu tempat bersarang dan berlindung bagi bubut jawa. Kehadiran limbah padat ini memberi dampak pada menurunnya kemampuan regenerasi mangrove di dalam kawasan. Semai bakau yang seharusnya tumbuh dengan baik, pertumbuhannya terganggu karena akar tidak bisa menembus lapisan sampah plastik. Pada akhirnya menyebabkan penurunan luasan habitat dan terjadi fragmentasi dan degradasi habitat. Tingginya laju sedimentasi juga telah mengakibatkan di beberapa bagian kawasan Suaka Margasatwa berubah menjadi daerah kering terutama sekali pada bagian yang berdekatan dengan tepi sungai (Sutrisno 2009).
Fakta di atas menunjukkan keberadaan habitat semakin terancam. Diperlukan adanya suatu pengelolaan terpadu dari pihak pemerintah maupun seluruh masyarakat untuk dapat mengelola sumber pakan dan air bagi spesies ini karena masalah di atas merupakan masalah yang serius dan harus segera diatasi. Hingga saat ini tekanan yang diterima habitat bubut jawa semakin tinggi, maka tidak heran jika populasinya di alam terus menurun. Tekanan habitat bubut jawa ini sebagian besar adalah berasal dari aktivitas manusia, oleh karena itu langkah awal untuk melestarikan habitat burung ini adalah diperlukan kesadaran masyarakat askan pentingnya peran habitat bagi kelangsungan hidup burung endemik jawa ini.

c. Menjadikan sebagai spesies maskot (flagship species)
Salah satu upaya yang dilakukan salah satu lembaga swadaya masyarakat sebagai upaya konservasi bubut jawa di Suaka Margasatwa Muara Angke adalah menjadikan bubut jawa sebagai spesies maskot atau flagship species. Penggunaan bubut jawa sebagai ‘flagship species’ untuk suatu strategi konservasi yang efektif di suatu kawasan. Hal ini berlaku karena bubut jawa terkenal sangat karismatik dan dapat mewakili contoh sehatnya suatu habitat dan ekosistem hutan serta mengindikasikan adanya nilai penting keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan menjadikannya sebagai maskot di suatu kawasan termasuk di kawasan konservasi dan sosialisasi yang baik diharapkan keberadaan spesies dapat dijaga bersama oleh seluruh elemen termasuk seluruh masyarakat sekitar habitat bubut jawa ini.

d. Penangkaran
Salah satu program konservasi ex-situ untuk menyelamatkan spesies endemik dari ancaman kepunahan seperti bubut jawa adalah dengan membuat penangkaran. Dasar hukum kegiatan penangkaran sebagai upaya konservasi ex-situ, antara lain, adalah Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Takandjandji dan Setio 2006).
Kegiatan penangkaran terhadap bubut jawa ditujukan untuk kegiatan konservasi jenis yang dilakukan di luar habitat alaminya apabila kegiatan konservasi di habitat alami burung ini tidak dapat dilakukan. Hasil penangkaran ini dapat dikembalikan lagi ke alam melalui kegiatan pelepasliaran dengan syarat-syarat dan peraturan yang telah ditentukan oleh pihak yang berwenang dalam hal ini adalah kementrian kehutanan. Hasil penangkaran ini juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial, terutama mulai dari hasil keturunan kedua (F2). Dengan demikian angka penjualan burung ini secara ilegal dapat diminimalisir.
Kegiatan penangkaran dapat dilakukan oleh lembaga konservasi, baik pemerintah maupun swasta. Hingga saat ini kegiatan penangkaran merupakan langkah terakhir yang diambil dalam upaya konservasi karena kegiatan ini memiliki kekurangan diantaranya adalah  memerlukan dana yang besar, membutuhkan tenaga ahli profesional yang cukup banyak, lahan yang sesuai dengan kondisi habitat alami satwa, manajemen terpadu dan studi yang mendalam terhadap satwa yang ditangkarkan.
Bubut jawa ini adalah satwa yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sebab hewan ini adalah satwa edemik, oleh karena itu penangkaran bubut jawa ini harus memperhatikan kesiapan lingkungan penangkaran, baik lingkungan biologi atau habitat hidup burung maupun lingkungan fisik (seperti kandang/sangkar). Lingkungan dan sistem pemeliharaan harus mengacu kepada perilaku dan habitat alaminya sehingga burung di penangkaran dapat mengekspresikan segala sifat alaminya. Kegiatan teknis yang dapat dilakukan adalah penyiapan tumbuhan pelindung dan sumber pakan, pemilihan bentuk dan ukuran kandang, pengelolaan penangkaran (pakan, kesehatan, sex rasio, dan reproduksi), dan sistem pencatatan (Takandjandji dan Setio 2006). Dengan pengelolaan penangkaran yang baik diharapkan mampu mempertahankan sumberdaya hayati endemik jawa ini dengan meningkatkan populasi serta memberikan nilai tambah untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat.


BAB III
KESIMPULAN

Saat ini keberadaan bubut jawa tersebut semakin hari semakin berkurang populasinya. Oleh karena itu, guna menjaga eksistensi sekaligus memulihkan populasi bubut Jawa di Indonesia, perlu dilakukan kegiatan konservasi. Bubut jawa merupakan satwa endemik jawa yang dideskripsikan sebagai burung yang tubuhnya berukuran besar (46 cm), dengan warna dominan hitam dan coklat kemerahan dan penyebarannya terbatas di hutan mangrove dan vegetasi rawa di pesisir Jawa. Kegiatan konservasi spesies ini dapat dimulai dengan menjadikan spesies ini sebagai spesies yang dilindungi undang-undang dan sebagai spesies yang kharismatik burung ini dapat dijadikan maskot suatu kawasan konservasi. Selain itu, pengelolaan habitat sebagai usaha konservasi in-situ merupakan satu strategi yang baik dalam melestarikan spesies ini. Program penangkaran merupakan langkah akhir dapat dilakukan saat pelestarian burung ini tidak lagi dapat dilakukan di habitat aslinya.


















DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar. IPB Press. Bogor.

Arifin M. 2007. Monitoring Burung Pantai di Pantai Trisik Kulon Progo Yogyakarta. Kumpulan Makalah Diskusi Hasil Penelitian Bionic. FMIPA UNY. Yogyakarta

BirdLife International. 2007. Species factsheet: Centropus nigrorufus. [internet]. [Diunduh tanggal 17 Oktober 2013]. Tersedia pada:http://www.birdlife.org

Desmawati I. 2010. Studi distribusi burung-burung dilindungi perundang-undangan Indonesia di Kawasan Wonorejo, Surabaya. [skripsi]. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

IUCN. 2011. IUCN Red List of Threatened Species. [internet]. [Diunduh tanggal 22 Oktober 2013]. tersedia pada: www.iucnredlist.org

McKinnon J, Philips K, van Balen B. 2010. Burung-burung di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. Birdlife-Indonesia Programme LIPI. Bogor.


Munandi A. 2013. Muara Angke, habitat burung di antara hutan beton. [internet]. [Diunduh tanggal 17 Oktober 2013]. Tersedia pada: www.omkicau.com


Ministry of Forestry. 1990. Indonesia National Forestry Action Plan. Ministry of Forestry-FAO of the United Nations. Jakarta.

Pramesti, OL. 2011. Elang Bondol dan Bubut Jawa Tersingkir dari Jakarta. [internet]. [diunduh tanggal 17 Oktober 2013]. tersedia pada: www.nationalgeographic.co.id.


Setio P, Takandjandji M. 2006. Konservasi Ex Situ Burung Endemik Langka Melalui Penangkaran. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan.

Sutrisno E. 2009. Suaka Margasatwa Muara Angke. Laporan Akhir Kampanye Bangga Melestarikan Alam. Jakarta.

Winnasis S, Toha A, Sutadi. 2011. Birds or Baluran National Park.Balai. Taman Nasional Baluran. Situbondo.